METRONEWS.CO, Jakarta– Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menggenjot kebijakan hilirisasi di dalam negeri. Sekalipun, program tersebut mendapat pertentangan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Bahlil mengatakan, Indonesia saat ini mempunyai tujuan untuk bisa menjadi negara maju. Sementara kunci untuk menjadi negara maju salah satunya melalui industrialisasi.
“Kita ini punya tujuan menjadi sebuah negara berkembang jadi negara maju, bukan hanya dari pendapatan per kapita, itu hanya 1 syarat. Tapi syarat lainnya adalah industrialisasi,” ujar Bahlil dalam Konferensi Pers, Jumat (30/6/2023).
Hal tersebut seperti apa yang sudah dilakukan bangsa Eropa, seperti Inggris misalnya yang pada abad ke-16 telah memulai industrialisasi di sektor tekstil. Lalu ada Amerika Serikat (AS) yang mempunyai kebijakan pengenaan tarif impor sebesar 40% pada tahun 1930 untuk membangun industri dalam negeri.
Berikutnya, China yang pada 1980-an menetapkan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada produknya harus mencapai 80%. Kemudian ada Finlandia yang pada 1986 menerapkan kebijakan untuk investor asing tidak boleh memiliki saham lebih dari 20%.
“Ini sejarah. Apakah Indonesia gak boleh ikuti jejak mereka? Apakah harus ikuti gaya IMF yang menurut saya tidak pantas untuk kita mendengar sebagian, sebagian bagus dia memuji-muji kita, yang gak bagus gak setuju,” katanya.
Semula, IMF berpendapat kebijakan larangan ekspor biji nikel bisa menimbulkan kerugian bagi penerimaan bangsa Indonesia dan berdampak negatif bagi negara lain. Namun, Bahlil menyebut bahwa penilaian IMF tersebut justru keliru.
Ia mengungkapkan bahwa sebelum kebijakan larangan ekspor diberlakukan, nilai ekspor bijih nikel RI pada periode 2017-2018 hanya sebesar US$ 2,3 miliar.
Namun begitu Indonesia mulai menjalankan program hilirisasi nikel, nilai ekspor produknya bisa mencapai 10 kali lipat atau US$ 30 miliar sampai akhir 2022.