Menua dengan Bahagia : Menjaga Kesehatan Mental Lansia

Oleh: Beny Agustina, S.Psi, Mahasiswi Magister Psikologi Universitas Semarang (USM)
METRONEWS, Usia lanjut sering kali dikaitkan dengan keterbatasan fisik dan penurunan kemampuan. Namun, lebih dari itu, lansia juga dihadapkan pada tantangan psikologis yang tidak kalah berat, mulai dari kehilangan orang terkasih hingga perubahan peran sosial. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 10% populasi Indonesia kini berusia di atas 60 tahun.
Angka ini akan terus naik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan struktur penduduk menua (aging population) dalam beberapa dekade mendatang. Namun, pertanyaannya bukan hanya apakah kita siap secara ekonomi dan fisik, melainkan juga: apakah kita siap secara psikologis sebagai individu, keluarga, dan bangsa untuk menghargai dan merawat kesehatan mental para lansia kita?

Sayangnya, isu kesehatan mental lansia masih jauh dari radar kebijakan publik maupun kesadaran sosial. Kita lebih sering berbicara tentang penyakit jantung, diabetes, atau asam urat pada lansia, namun melupakan fakta bahwa kesepian, kehilangan makna hidup, dan depresi adalah “penyakit senyap” yang jauh lebih banyak membayangi mereka.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, sekitar 1 dari 4 lansia di Indonesia mengalami gangguan mental, terutama depresi. Sementara itu, WHO menyebut bahwa kesehatan mental merupakan faktor utama dalam successful aging konsep tentang menua secara sehat, bermartabat, dan tetap bermakna. Ini berarti, tanpa perhatian terhadap aspek psikologis, berbagai program jaminan sosial dan kesehatan fisik akan berjalan pincang.
Kita hidup dalam budaya yang secara lisan sangat menghormati orang tua, namun dalam praktiknya sering kali membiarkan mereka terlupakan. Banyak lansia merasa tidak lagi dianggap penting, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga, bahkan “disimpan” di rumah sendirian tanpa ruang untuk berinteraksi. Kehilangan peran sosial inilah yang menurut teori psikologi Erikson, dapat membawa lansia pada krisis identitas dan keputusasaan, bukannya ketenangan batin.
Padahal, mereka tidak membutuhkan hal muluk. Cukup ruang untuk berbagi cerita, diajak bicara dengan hormat, diberikan kepercayaan untuk tetap mandiri dalam batas kemampuannya. Ini bukan semata urusan keluarga. Ini urusan kemanusiaan. Masalah kesehatan mental lansia bukan semata problem individu, melainkan berdampak pada keluarga, komunitas, dan sistem kesehatan. Lansia yang depresi lebih rentan terhadap penyakit fisik, lebih sering masuk rumah sakit, dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Sebaliknya, lansia yang sehat secara psikologis akan lebih mandiri, lebih bahagia, dan justru bisa menjadi sumber kekuatan moral dan sosial di lingkungannya.
Sudah saatnya negara hadir lebih serius. Bukan sekadar dalam bentuk bantuan pangan atau BPJS, tetapi dengan membangun sistem layanan psikologi geriatri di puskesmas, memperkuat edukasi keluarga tentang kesehatan mental lansia, dan menghidupkan kembali peran komunitas sebagai ruang sosial yang inklusif.
Kita perlu berhenti menganggap lansia sebagai beban. Mereka adalah refleksi masa depan kita. Memuliakan mereka bukan sekadar urusan moral, tetapi investasi peradaban. Karena semua kita jika diberi umur Panjang pada akhirnya akan sampai di titik yang sama: membutuhkan pemahaman, kasih sayang, dan tempat yang menghargai eksistensi kita, bukan sekadar keberadaan kita. Menjadi tua memang tak bisa dihindari. Tapi menua dengan bahagia adalah hak setiap manusia, dan kewajiban kita bersama untuk mewujudkannya.