
Muhammad Ja’far menyambangi kantor Advokat dan Konsultan Hukum Abraham Ingan S.H dan Partner
“Karena saya tidak bertemu pak Presiden, saya langsung kesini, minta tolong sama pak Abraham Ingan dan rekan-rekannya, mudahan mereka bisa membantu warga yang sudah lebih 10 tahun tidak mendapatkan kejelasan dari perusahaan” ujar Ja’far
Metronews.co, SAMARINDA- Seorang warga Desa Kasiau, Kecamatan Murung Pudak Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan Muhammad Ja’far rela ke Kaltim untuk meminta keadilan lantaran tanah miliknya diserobot Perusahaan tambang PT. Adaro Indonesia, Jum’at (22/09).
Kehadirannya ke Kalimantan Timur karena ia mendapat kabar jika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akan berada di Samarinda untuk meninjau lokasi pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara.
Ja’far mengungkapkan bahwa langkah yang ia ambil untuk meminta keadilan kepada Presiden Joko Widodo dilakukan lantaran ia sudah putus asa, karena selama ini mereka sudah melakukan berbagai upaya namun hasilnya tidak ada.

Muhammad Ja’far menyerahkan berkas-berkasnya ke kuasa hukumnya Abraham Ingan
Bahkan Ja’far menuding jika Bupati Tabalong Anang Syakhfiani menyalahgunakan jabatannya terkait pemberian izin pada kegiatan perkebunan sawit dan karet kepada PT Alam Tri Abadi. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Tabalong Nomor. 188.45/553/2014.
Kemudian, SK Bupati Tabalong Nomor. 188.45/553/2016 tentang perizinan pembuangan air limbah kegiatan pertambangan batubara oleh PT Adaro Indonesia di Kabupaten Tabalong.
“Padahal UU Minerba tahun 2020 menyatakan jika ada kewajiban dari pihak IUP atau IUPK untuk melakukan ganti rugi lahan kepada masyarakat atau pemilik lahan sebelum melakukan kegiatan pertambangan Batubara, ” ujar H. Muhammad Jafar yang menjadi korban penyerobotan lahan oleh PT Adaro Indonesia.
“Kami sudah minta keadilan mulai dari tingkat DPR, seluruh Instansi yang berwenang di Tabalong, mulai dari ESDM Dinas Lingkungan Hidup bahkan Sekda dan Bupatinya sudah kami koordinasi, tapi hasilnya nol” tambah Muhammad Ja’far saat ditemui media ini.
Lebih lanjut, Ja’far jauh- jauh dari Kalimantan Selatan hanya ingin bertemu Jokowi untuk menyampaikan keluh kesah warga karena sudah lebih dari 10 tahun lahan mereka di garap oleh PT. Adaro tanpa ada ganti rugi. Untuk menguatkan tuntutannya Ja’far juga membawa semua berkas dan berupa surat tanah yang sudah bersertifikat milik warga.
“Kami sudah putus asa, karena sudah lebih dari 10 tahun lahan kami yang luasnya lebih dari 100 hektar di garap perusahaan, dan saya kesini karena saya mendapatkan informasi pak Presiden akan kesini, tapi saya terlambat, karena beliau sudah berangkat ke IKN, padahal kalau saya bisa ketemu beliau saya hanya ingin meminta keadilan” jelasnya.
Karena tidak bisa bertemu Presiden, ia kemudian menyambangi kantor Advokat dan Konsultan Hukum Abraham Ingan S.H dan Rekan untuk meminta bantuan hukum.
“Karena saya tidak bertemu pak Presiden, saya langsung kesini, minta tolong sama pak Abraham Ingan dan rekan-rekannya, mudahan mereka bisa membantu warga yang sudah lebih 10 tahun tidak mendapatkan kejelasan dari perusahaan” bebernya.
Sementara itu, Abraham Ingan mengatakan ia bersama rekan- rekannya siap membantu warga yang membutuhkan bantuan hukum, dan terkait masalah PT. Adaro dan warga Kantor Advokat Abraham Ingan dan Partner akan mendampingi warga sampai mereka mendapatkan keadilan.
“Kami sudah menerima berkas- berkas mereka, dan sudah kami pelajari, ternyata mereka memiliki sertifikat hak milik, sebanyak 25 orang data- datanya lengkap dan ini akan kami tindaklanjuti” ujarnya.
Untuk langkah selanjutnya, pihaknya akan melakukan upaya hukum baik ditingkat daerah maupun ke Kejaksaan Agung.
“Tentu kami akan mendatangi kejagung karena lembaga penegak hukum tertinggi adalah kejagung” jelas Abraham Ingan.
Sebelumnya konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan pertambangan di Kalimantan Selatan sudah berlangsung lama, perusahaan tambang PT Adaro Indonesia dituding telah melakukan pencaplokan tanah warga di Desa Kasiau, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong Kalsel untuk kepentingan pertambangan batubara, dan kasus ini terjadi sejak tahun 2011 tanpa ada ganti rugi. (AG)